Dari Mimpi Masa Kecil ke Kenyataan, Ini Kisah Inspiratif Direktur RSUD Torabelo Sigi
09 May 2025 • Penulis: Admin Torabelo (Qadri)
Bagi Dr. Diah Ratnaningsih, menjadi dokter bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa sejak masa kecil. Kini, lebih dari satu dekade sejak menjejakkan kaki di Kabupaten Sigi sebagai tenaga medis, ia dipercaya memimpin Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tora Belo, rumah sakit rujukan utama di kabupaten itu.
Bagi perempuan kelahiran Sidoarjo, 16 Desember 1982, cita-cita masa kecilnya bukan sekadar mimpi. Ia membuktikan bahwa dengan ketekunan dan semangat untuk membantu sesama, seorang perempuan bisa tumbuh menjadi pemimpin layanan kesehatan di daerah.
“Saat ditanya cita-cita, saya langsung jawab mau jadi dokter. Waktu itu saya cuma mikir ingin bantu orang lain,” tutur Diah mengenang awal mula perjalanannya.
Namun, tekad untuk menolong orang saja tidak cukup. Diah menyadari bahwa dalam dunia medis, niat baik harus disertai ilmu agar tidak justru mencelakakan.
“Jangan sampai karena tidak paham, niat membantu malah mencelakakan. Ilmu kedokteran terus berkembang, jadi tantangannya tidak pernah habis,” ujar Diah saat ditemui diruang kerjanya Jumat (9/5/2024).
Ia pun menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, dan selepas lulus, Diah diterima sebagai CPNS di Kabupaten Sigi tahun 2010.
Penempatan pertamanya adalah di Puskesmas Biromaru. Kondisi darurat kala itu karena ketiadaan dokter di sana membuat ia segera berangkat ke Sigi hanya bersama suaminya, yang juga seorang dokter, meski harus meninggalkan bayi mereka yang baru berusia lima bulan di Surabaya.
“Saya diberi rumah dinas dekat Puskesmas. Setiap hari, dari pagi sampai malam, saya menangani pasien, termasuk gawat darurat. Saat itu saya satu-satunya dokter umum untuk 18 desa,” tuturnya.
Berbekal dedikasi dan kerja keras, Diah kemudian diangkat menjadi Kepala Puskesmas Biromaru, lalu dimutasi ke Puskesmas Sibalaya. Di dua tempat ini, ia mencatatkan banyak prestasi.
Selama memimpin Puskesmas Sibalaya, Diah menggagas sejumlah inovasi penanganan stunting, termasuk program Benua Ntoveae. Program ini membuat rumah kecil untuk menampung anak-anak stunting selama pandemi, lengkap dengan pengiriman makanan bergizi setiap hari dan pelatihan memasak untuk ibu-ibu.
Inovasi lainnya seperti Kutanam Jahe (Kurangi Stunting Tanabulava Kaya Sehat Enerjik) bahkan menang di tingkat Provinsi Sulawesi Tengah.
Namun, kebahagiaan tak selalu menyertai langkahnya. Pada tahun 2020, suami tercintanya meninggal dunia karena COVID-19.
Sang suami, yang kala itu menggantikan dirinya sebagai Kepala Puskesmas Biromaru, kemungkinan terpapar COVID-19 usai mendampingi Bupati dan Wakil Bupati dalam kunjungan kerja ke Kecamatan Lindu.
“Kami berduavsama-sama sempat masuk ICU di rumah sakit Surabaya,” kenang Diah dengan suara bergetar.
Sepeninggal suami, Diah kembali memimpin Puskesmas Biromaru. Di bawah kepemimpinannya, Puskesmas itu meraih akreditasi A. Hal itu membuat Bupati Sigi kala itu, Mohamad Irwan, langsung memanggilnya dan menanyakan rahasia sukses akreditasi tersebut. Tak disangka, keesokan harinya ia dilantik menjadi Direktur RSUD Tora Belo.
“Jujur saya kaget. Tapi saya terima amanah ini karena saya percaya rumah sakit ini adalah harapan masyarakat Sigi,” ujarnya.
Sudah satu setengah tahun ia memimpin RSUD Tora Belo. Tantangannya tak ringan. “Rumah sakit ini seperti puskesmas besar, semua sistem harus berjalan baik. Tapi prinsip saya tetap sama semua pasien harus dilayani dengan setara, tidak ada diskriminasi,” katanya.
Kini, di tengah kesibukannya, Diah juga sedang menempuh pendidikan S2. Meski begitu, urusan keluarga tetap jadi prioritas utamanya.
“Saya single parent. Anak pertama saya mondok di Surabaya, anak kedua bersama saya di sini. Sebelum ke rumah sakit, saya harus siapkan semuanya. Harus ekstra karena tidak ada lagi suami yang bisa berbagi tugas,” tuturnya.
Bagi Diah, menjadi pemimpin rumah sakit adalah amanah sekaligus tanggung jawab besar untuk menjadi teladan.
“Kesan saya memimpin RSUD Torabelo tentu ada positif dan negatifnya. Dari sisi positif, saya harus jadi role model bagi dokter, perawat, dan semua pegawai. Saya harus hadir di tengah mereka, ikut apel, menunjukkan kedisiplinan. Tidak boleh datang seenaknya saja,” ujarnya.
Namun, Diah tak menampik bahwa tantangan terbesar adalah menghadapi tuntutan pelayanan publik.
“Dukanya? Ya, pasti ada. Dalam pelayanan, meskipun kita sudah melakukan seribu hal baik, satu kesalahan bisa dibesar-besarkan. Tapi kami sadar, itu bagian dari pelayanan publik yang harus kami terima. Justru itu menjadi cambuk bagi kami agar ke depan menjadi lebih baik,” tambahnya.
Bagi Diah Ratnaningsih, profesi dokter bukan sekadar pekerjaan, tapi panggilan hati. Dan menjadi pemimpin di rumah sakit adalah bentuk pengabdian tertinggi yang terus ia jalani dengan dedikasi, empati, dan semangat untuk membangun pelayanan kesehatan yang lebih manusiawi di Kabupaten Sigi.
Sumber : journalrakyat.com
Kembali ke Berita
Bagi perempuan kelahiran Sidoarjo, 16 Desember 1982, cita-cita masa kecilnya bukan sekadar mimpi. Ia membuktikan bahwa dengan ketekunan dan semangat untuk membantu sesama, seorang perempuan bisa tumbuh menjadi pemimpin layanan kesehatan di daerah.
“Saat ditanya cita-cita, saya langsung jawab mau jadi dokter. Waktu itu saya cuma mikir ingin bantu orang lain,” tutur Diah mengenang awal mula perjalanannya.
Namun, tekad untuk menolong orang saja tidak cukup. Diah menyadari bahwa dalam dunia medis, niat baik harus disertai ilmu agar tidak justru mencelakakan.
“Jangan sampai karena tidak paham, niat membantu malah mencelakakan. Ilmu kedokteran terus berkembang, jadi tantangannya tidak pernah habis,” ujar Diah saat ditemui diruang kerjanya Jumat (9/5/2024).
Ia pun menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, dan selepas lulus, Diah diterima sebagai CPNS di Kabupaten Sigi tahun 2010.
Penempatan pertamanya adalah di Puskesmas Biromaru. Kondisi darurat kala itu karena ketiadaan dokter di sana membuat ia segera berangkat ke Sigi hanya bersama suaminya, yang juga seorang dokter, meski harus meninggalkan bayi mereka yang baru berusia lima bulan di Surabaya.
“Saya diberi rumah dinas dekat Puskesmas. Setiap hari, dari pagi sampai malam, saya menangani pasien, termasuk gawat darurat. Saat itu saya satu-satunya dokter umum untuk 18 desa,” tuturnya.
Berbekal dedikasi dan kerja keras, Diah kemudian diangkat menjadi Kepala Puskesmas Biromaru, lalu dimutasi ke Puskesmas Sibalaya. Di dua tempat ini, ia mencatatkan banyak prestasi.
Selama memimpin Puskesmas Sibalaya, Diah menggagas sejumlah inovasi penanganan stunting, termasuk program Benua Ntoveae. Program ini membuat rumah kecil untuk menampung anak-anak stunting selama pandemi, lengkap dengan pengiriman makanan bergizi setiap hari dan pelatihan memasak untuk ibu-ibu.
Inovasi lainnya seperti Kutanam Jahe (Kurangi Stunting Tanabulava Kaya Sehat Enerjik) bahkan menang di tingkat Provinsi Sulawesi Tengah.
Namun, kebahagiaan tak selalu menyertai langkahnya. Pada tahun 2020, suami tercintanya meninggal dunia karena COVID-19.
Sang suami, yang kala itu menggantikan dirinya sebagai Kepala Puskesmas Biromaru, kemungkinan terpapar COVID-19 usai mendampingi Bupati dan Wakil Bupati dalam kunjungan kerja ke Kecamatan Lindu.
“Kami berduavsama-sama sempat masuk ICU di rumah sakit Surabaya,” kenang Diah dengan suara bergetar.
Sepeninggal suami, Diah kembali memimpin Puskesmas Biromaru. Di bawah kepemimpinannya, Puskesmas itu meraih akreditasi A. Hal itu membuat Bupati Sigi kala itu, Mohamad Irwan, langsung memanggilnya dan menanyakan rahasia sukses akreditasi tersebut. Tak disangka, keesokan harinya ia dilantik menjadi Direktur RSUD Tora Belo.
“Jujur saya kaget. Tapi saya terima amanah ini karena saya percaya rumah sakit ini adalah harapan masyarakat Sigi,” ujarnya.
Sudah satu setengah tahun ia memimpin RSUD Tora Belo. Tantangannya tak ringan. “Rumah sakit ini seperti puskesmas besar, semua sistem harus berjalan baik. Tapi prinsip saya tetap sama semua pasien harus dilayani dengan setara, tidak ada diskriminasi,” katanya.
Kini, di tengah kesibukannya, Diah juga sedang menempuh pendidikan S2. Meski begitu, urusan keluarga tetap jadi prioritas utamanya.
“Saya single parent. Anak pertama saya mondok di Surabaya, anak kedua bersama saya di sini. Sebelum ke rumah sakit, saya harus siapkan semuanya. Harus ekstra karena tidak ada lagi suami yang bisa berbagi tugas,” tuturnya.
Bagi Diah, menjadi pemimpin rumah sakit adalah amanah sekaligus tanggung jawab besar untuk menjadi teladan.
“Kesan saya memimpin RSUD Torabelo tentu ada positif dan negatifnya. Dari sisi positif, saya harus jadi role model bagi dokter, perawat, dan semua pegawai. Saya harus hadir di tengah mereka, ikut apel, menunjukkan kedisiplinan. Tidak boleh datang seenaknya saja,” ujarnya.
Namun, Diah tak menampik bahwa tantangan terbesar adalah menghadapi tuntutan pelayanan publik.
“Dukanya? Ya, pasti ada. Dalam pelayanan, meskipun kita sudah melakukan seribu hal baik, satu kesalahan bisa dibesar-besarkan. Tapi kami sadar, itu bagian dari pelayanan publik yang harus kami terima. Justru itu menjadi cambuk bagi kami agar ke depan menjadi lebih baik,” tambahnya.
Bagi Diah Ratnaningsih, profesi dokter bukan sekadar pekerjaan, tapi panggilan hati. Dan menjadi pemimpin di rumah sakit adalah bentuk pengabdian tertinggi yang terus ia jalani dengan dedikasi, empati, dan semangat untuk membangun pelayanan kesehatan yang lebih manusiawi di Kabupaten Sigi.
Sumber : journalrakyat.com